Video Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah
TUTORIAL PENYELESAIAN GUGATAN EKONOMI SYARIAH
Video yang berisi tentang cara penyelesaian perkara ekonomi syariah dengan acara yang sederhana
Dasar Hukum
Peraturan Mahkamah Agung RI Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah
Artikel Terkait
Membedah Perma Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah
Jakarta l badilag.mahkamahagung.go.id
Regulasi yang ditunggu-tunggu segenap aparatur peradilan agama itu kini telah terbit. Pada 22 Desember 2016, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah ditetapkan Ketua MA Hatta Ali. Regulasi tersebut berlaku sejak ditetapkan.
MA mengeluarkan Perma 14/2016 setelah mempertimbangkan signifikannya perkembangan dunia usaha yang menggunakan akad-akad syariah. Faktanya, tidak sedikit terjadi sengketa di antara para pelaku ekonomi syariah.
MA menyadari, masyarakat membutuhkan prosedur penyelesaian sengketa yang lebih sederhana, cepat dan biaya ringan. Namun sayangnya, ketentuan hukum acara yang ada saat ini, baik dalam HIR maupun RBg, tidak membedakan tata cara pemeriksaan antara nilai objek materiil yang jumlahnya besar dan kecil, sehingga penyelesaian perkaranya memerlukan waktu yang lama.
Karena terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dengan UU, untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum acara perdata di bidang ekonomi syariah, MA pun akhirnya mengeluarkan Perma ini.
Lantas, apa saja hal baru, penting dan menarik dari regulasi tersebut?
Secara garis besar, ada tiga aspek perlu dibedah: penegasan kewenangan peradilan agama, teknis peradilan dan administrasi perkara ekonomi syariah.
Penegasan kewenangan peradilan agama di bidang ekonomi syariah paling gamblang terdapat di pasal 13. Di situ disebutkan, pelaksanaan putusan perkara ekonomi syariah, hak tanggungan dan fidusia berdasarkan akad syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. Demikian juga dengan pelaksanaan putusan arbitrase syariah dan pembatalannya, dengan mengacu kepada UU 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Selama ini, perihal hak tanggungan dan fidusia berdasarkan akad syariah, belum ada kejelasan mengenai lingkungan peradilan mana yang berwenang menerima, memeriksa dan memutus perkara, serta melaksanakan putusan. Meski demikian, faktanya, banyak pengadilan di lingkungan peradilan agama yang telah mengadili sengketa ini dengan memegang prinsip: sepanjang akadnya adalah akad syariah, maka menjadi kewenangan peradilan agama, sesuai dengan UU 3/2006 dan putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012.
Mengenai pelaksanaan putusan arbitrase syariah dan pembatalannya, sesungguhnya kewenangan itu pernah diberikan kepada peradilan agama melalui SEMA 8/2008. Namun kewenangan tersebut lantas dialihkan ke peradilan umum, setelah MA menerbitkan SEMA 8/2010. Dengan demikian, ketentuan yang terdapat di SEMA 8/2010 itu kini tidak berlaku lagi, setelah adanya Perma 14/2016.
Berkenaan dengan teknis peradilan, Perma 14/2016 memberikan dua kemungkinan penanganan perkara ekonomi syariah: cara sederhana dan cara biasa.
Tolok ukurnya adalah nilai gugatan materiil. Jika nilainya kurang atau sama dengan Rp200 juta, maka ditangani dengan cara sederhana. Sebaliknya, jika nilainya lebih dari itu, ditangani dengan cara biasa. Sebelumnya, sejak adanya UU 3/2006, seluruh sengketa ekonomi syariah, berapapun nilainya, diselesaikan dengan cara biasa.
Perbandingan Cara Sederhana dan Cara Biasa
Aspek |
Cara Sederhana |
Cara Biasa |
Nilai gugatan |
Paling banyak Rp200 juta |
Lebih dari Rp200 juta |
Domisili para pihak |
Penggugat dan tergugat berdomisili di wilayah hukum yang sama |
Penggugat dan tergugat tidak harus berdomisili di wilayah hukum yang sama |
Jumlah para pihak |
Penggugat dan tergugat masing-masing tidak boleh lebih dari satu, kecuali punya kepentingan hukum yang sama |
Penggugat dan tergugat masing-masing boleh lebih dari satu |
Alamat tergugat |
Harus diketahui |
Tidak harus diketahui |
Pendaftaran perkara |
Menggunakan blanko gugatan |
Membuat surat gugatan |
Pengajuan bukti-bukti |
Harus bersamaan dengan pendaftaran perkara |
Pada saat sidang beragenda pembuktian |
Pendaftaran perkara, penunjukan hakim dan panitera sidang |
Paling lama 2 hari |
Paling lama hari |
Pemeriksa dan pemutus |
Hakim tunggal |
Majelis hakim |
Pemeriksaan pendahuluan |
Ada |
Tidak ada |
Mediasi |
Tidak ada |
Ada |
Kehadiran para pihak |
Penggugat dan tergugat wajib menghadiri setiap persidangan secara langsung (impersonal), meski punya kuasa hukum |
Penggugat dan tergugat tidak wajib menghadiri setiap persidangan secara langsung (impersonal) |
Konsekwensi ketidakhadiran penggugat pada sidang pertama tanpa alasan yang sah |
Gugatan dinyatakan gugur |
Gugatan tidak dinyatakan gugur |
Pemeriksaan perkara |
Hanya gugatan dan jawaban |
Dimungkinkan adanya tuntutan provisi, eksepsi, rekonvensi, intervensi, replik, duplik, dan kesimpulan |
Batas waktu penyelesaian perkara |
25 hari sejak sidang pertama |
5 bulan |
Penyampaian putusan |
Paling lambat 2 hari sejak putusan diucapkan |
Paling lambat 7 hari sejak putusan diucapkan |
Upaya hukum dan batas waktu penyelesaiannya |
Keberatan (7 hari sejak majelis hakim ditetapkan) |
Banding (3 bulan), kasasi (3 bulan) dan peninjauan kembali (3 bulan) |
Batas waktu pendaftaran upaya hukum |
7 hari sejak putusan diucapkan atau diberitahukan |
14 hari sejak putusan diucapkan atau diberitahukan |
Kewenangan pengadilan tingkat banding dan MA |
Tidak ada |
Ada |
Penanganan perkara ekonomi syariah dengan cara sederhana mengacu kepada Perma 2/2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana atau biasa dikenal dengan istilah small claims court. Sementara itu, penanganan perkara ekonomi syariah dengan cara biasa tetap mengacu kepada pelbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Baik dalam hal gugatan sederhana maupun gugatan biasa, penggugat dapat mengajukan perkaranya dengan datang ke kepaniteraan PA/MS atau melalui pendaftaran elektronik. Bedanya, jika hendak mendaftarkan gugatan sederhana, penggugat cukup mengisi formulir atau blanko gugatan yang disediakan pengadilan. Isinya menguraikan identitas penggugat dan tergugat; penjelasan ringkas duduk perkara (posita); dan tuntutan penggugat (petitum). Selain itu, ketika mendaftarkan perkaranya, penggugat wajib melampirkan bukti surat yang sudah dilegalisasi.
Pendaftaran perkara secara elektronik sesungguhnya bukan hal baru lagi di peradilan agama. Sejumlah pengadilan sudah menerapkannya, dengan beberapa varian. Namun, sejauh ini belum ada satupun regulasi yang mengaturnya. Perma 14/2016 menjadi regulasi pertama yang mengakomodasi kemungkinan pengajuan perkara dengan memanfaatkan internet di lingkungan peradilan agama.
Mengenai formulir atau blanko gugatan, sebagian pengadilan sudah menyediakannya dan sebagian yang lain belum. Biasanya, blanko-blanko gugatan itu dibuat dalam beberapa versi, mengikuti jenis-jenis perkara yang menjadi kompetensi absolut peradilan agama. Hanya, sejauh ini memang belum ada regulasi yang mengaturnya, sehingga formatnya bervariasi.
Bukti-bukti surat dari penggugat, dalam gugatan sederhana, wajib dilampirkan pada surat gugatan pada saat mendaftarkan gugatan. Hal ini sejalan dengan konsep dasar small claims court, yang hanya membebankan penggugat untuk mengurai fakta hukum beserta bukti-buktinya, tanpa perlu pusing dengan urusan dasar hukum. Selain itu, keharusan menyediakan bukti-bukti saat pendaftaran bertujuan untuk memberikan kesempatan yang lebih dini kepada tergugat untuk menyiapkan jawaban. Dengan begitu, pemeriksaan perkara gugatan sederhana bisa lebih hemat waktu.
Jika tergolong small claims court, ketua pengadilan cukup menunjuk satu orang hakim, sedangkan jika termasuk gugatan biasa, ketua pengadilan menunjuk majelis hakim. Hakim tunggal dalam perkara gugatan sederhana dan majelis hakim dalam perkara gugatan biasa harus sudah bersertifikat. Artinya, mereka harus lulus dalam sertifikasi hakim ekonomi syariah yang diselenggarakan MA, berdasarkan Perma 5/2016. Kalau di PA tersebut belum ada hakim yang bersertifikat, maka ketua pengadilan dapat menunjuk hakim yang pernah mengikuti diklat fungsional ekonomi syariah.
Saat ini, hakim peradilan agama yang bersertifikat ekonomi syariah berjumlah 117 orang. Mereka terdiri atas 40 hakim tinggi dan 77 hakim tingkat pertama. Sementara itu, hakim peradilan agama yang pernah mengikuti diklat ekonomi syariah berjumlah lebih dari 1000 orang.
Yang menarik, Perma 14/2016 sangat akomodatif terhadap perkembangan teknologi informasi. Selain melegitimasi pendaftaran perkara online, Perma yang berisi 15 pasal pada 11 bab ini juga memberi peluang pemeriksaan ahli melalui teknologi informasi, misalnya via teleconference. Bahkan, atas kesepakatan para pihak yang berperkara, pemanggilan lanjutan untuk menghadiri persidangan dapat memanfaatkan teknologi informasi. Jadi, mungkin saja, pada sidang ke-2 dan seterusnya, penggugat dan tergugat cukup dipanggil dengan menggunakan e-mail atau Whatsapp. Tentu, dari segi teknis yudisial dan administrasi, hal-hal semacam ini perlu pengaturan lebih lanjut.
Hal-hal lain berkaitan dengan gugatan sederhana dalam perkara ekonomi syariah yang perlu pengaturan lebih spesifik di antaranya adalah format blanko gugatan sederhana, komponen-komponen dan nominal panjar biaya perkara, register perkara, format penetapan oleh hakim tunggal mengenai kelayakan berperkara secara sederhana, format berita acara sidang dan putusan, juga prosedur dan biaya upaya hukum keberatan. [hermansyah]
Sumber : Website DIrjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI